Kamis, 01 Januari 2009

sanggar lare mentes














Sanggar Lare Mentes merupakan model komunitas pendidikan integratif untuk anak di pedesaan. Model Sanggar merupakan pilihan bentuk yang dikembangkan dari sebuah program tempat nyaman untuk anak (save places for children) pasca gempa yang menimpa Yogyakarta dan sekitarnya pada Mei 2006. Pada awalnya program tempat nyaman berisi kegiatan untuk membantu anak-anak memulihkan kondisi trauma pasca gempa di dukuh Pundung, desa Towangsan, Kecamatan Gantiwarno, Klaten. Dalam perkembangannya, sebagian anak dan orang tua setempat menilai bahwa program tempat nyaman tidak hanya bermanfaat untuk kondisi pasca gempa, tetapi juga merupakan kegiatan yang relevan untuk menjawab keprihatinan warga terhadap dampak perkembangan desa terhadap pertumbuhkembangan anak.

Towangsan adalah sebuah desa kecil yang hanya memiliki 6 wilayah kedukuhan yang terletak 7 kilometer dari pusat kota Kabupaten Klaten. Penduduk yang masih tinggal umumnya adalah petani penggarap kelas gurem yang hanya mampu menggarap tanah kurang dari 1 hektar. Sistem penggarapan tanah yang berlaku adalah sistem bagi hasil kotor. Dengan sistem bagi hasil kotor pemilik lahan akan menerima setengah dari hasil panen tanpa mengeluarkan beaya produksi sepeser pun. Sementara petani penggarap hanya akan menerima setengah hasil panen setelah dikurangi beaya produksi yang cukup tinggi. Akibatnya pendapatan bersih petani penggarap per panen umumnya tidak lebih dari 10 persen dari hasil panen. Hasil yang sedikit itu pun hanya bisa dinikmati secara periodik selama 2 tahun sekali. Karena secara bergiliran tanah subur desa Towangsan setiap 2 tahun masih dimanfaatkan untuk menanam tembakau milik perusahaan. Umumnya harga sewa lahan untuk tanam tembakau selama 1 tahun lebih kecil dari hasil panen padi.


Sistem yang tidak berpihak pada petani penggarap dan buruh tani menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan kecilnya pendapatan dari sektor pertanian. Sementara pada sisi lain kebijakan desa tidak mampu membendung laju harga kebutuhan pokok yang terus meninggi. Kebijakan yang sama juga tak mampu menandingi gencarnya serbuan arus konsumerisme yang merangsek ke segala aspek kehidupan desa. Kondisi seperti itu menjadikan kebanyakan warga Towangsan cenderung meninggalkan desa dan memilih mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Para ibu dan kaum perempuan kebanyakan memilih menjadi buruh migran dan buruh industri. Sedangkan sektor informal di kota merupakan pekerjaan pilihan kebanyakan kaum lelaki.

Desa pun menjadi sepi dan semakin sedikit yang mempunyai perhatian pada persoalan pengembangan beragam aspek usaha pedesaan. Alih-alih memikirkan pengembangan aspek sosial-budaya, seluruh perhatian dan tenaga sepenuhnya habis untuk berjuang mengais rejeki demi menghidupi keluarga. Kenyataan itu merupakan ironi sebuah negeri agraris, dilema pedesaan. Di satu sisi sektor pertanian sebagai lumbung pangan sebagian terbesar warga negara membutuhkan regenerasi untuk menjaga produktivitas, tapi di sisi lain negara tidak memberikan jaminan daya tarik minat kaum muda untuk menekuni sektor pertanian. Kalau kaum muda saat ini sudah tidak tertarik pada usaha pertanian, maka bukan sebuah pengandaian kalau generasi anak-anak desa pun semakin tidak mengenali lagi kearifan dan potensi desanya.


Berhadapan dengan kenyataan seperti itu sekaligus menyadari akan tugas panggilan sejarah anak manusia untuk mengembangkan diri dan lingkungannya maka kami, Sanggar Lare Mentes, memberanikan diri untuk mewujudkan sebuah gagasan model pendidikan integratif untuk anak-anak desa.


Sanggar menjadikan tahun ini, 2009, sebagai langkah awal untuk ikut ambil bagian dari sebuah gerak perubahan menuju tata kehidupan masyarakat yang lebih baik.


Langkah awal yang mulai dilakukan adalah menyelenggarakan sistem pembelajaran reguler untuk anak-anak setingkat Sekolah Menengah yang, karena alasan tertentu, sudah tidak melanjutkan sekolah.

Di samping itu Sanggar juga memfasilitasi dinamika belajar-bermain untuk komunitas anak-anak desa.































Minggu, 28 Desember 2008

Pendidikan Alternatif



Hurufiah, alternatif berarti 'pilihan lain'. Kalau kemudian istilah itu ditempatkan di belakang kata pembelajaran atau pendidikan, maksudnya memberikan penjelasan tentang model pendidikan yang lain, yang berbeda dengan yang sudah ada yaitu sekolah formal yang diselenggarakan oleh negara.


Apanya yang alternatif? Pertanyaan itu mengundang jawaban yang tak kunjung memuaskan banyak pihak. Karena setiap pihak atau kelompok cenderung memaknai istilah itu berdasarkan perspektifnya masing-masing. Ada pihak yang menganggap berbeda secara adminsitratif sudah bisa disebut sebagai model alternatif. Pihak lainnya lebih menekankan pada perbedaan metodologi. Pihak yang lain lagi berpendapat model yang disebut alternatif adalah model yang berbeda dari hulu sampai hilir, dari ideologi sampai pada praksis adminsitrasi.
Sejatinya pendidikan alternatif memiliki makna yang lebih signifikan. Alternatif tak kunjung selesai diperdebatkan kalau hanya sebatas pada pengertian per definisi. Memahami sebuah model pendidikan alternatif adalah memahami sebuah paradigma dan indikasi pencapaian sebuah proses pembelajaran. Model pendidikan alternatif adalah sebuah sistem pembelajaran kreatif yang didasarkan pada paradigma pertumbuhkembangan anak sebagai manusia otonom. Dalam model pendidikanalternatif, anak manusia menjadi sentral, subyek merdeka yang sedang berubah, bertumbuhkembang mencapai kepenuhannya sebagai mahkluk individual sekaligus sosial. Oleh karena itu sebuah sistem pendidikan yang membuat peserta didik merasa terbebani, merasa tidak nyaman,layak dipertanyakan.


Indikasi pencapaian dari proses pendidikan alternatif pun bukan sekadar selembar daftar nilai dari uji kemampuan akademik. Lebih dari itu pencapaian yang diharapkan dalam proses pendidikan alternatif adalah sebuah perubahan dari setiap peserta didik. Perubahan yang dimaksud menyakup perkembangan tingkat kecerdasan yang meliputi perkembangan pengetahuan (intelektuaitas), kemampuan kreatif, kepekaan rasa perasaan, dan kemampuan berkehendak. Perubahan kualitas kemanusiaan seperti itu hanya bisa dilihat dan dirasakan dari tindakan nyata setiap peserta didik.


Seberapa besar pencapaian model pendidikan alternatif pun hanya bisa dilihat dariseberapa besar perubahan yang terjadi pada setiap peserta didik mampu menggerakkan terjadinya perubahan padakomunitas atau lingkungan masyarakatnya.